Sabtu, 15 Desember 2012

TELADAN KEPEMIMPINAN RAJA JAWA

Judul buku      : Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota Republik
Penulis            : Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo
Penerbit          : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan           : 1, Februari 2012
Tebal               : 244 halaman




Peneguhan sikap politik Yogyakarta menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak dapat dilepaskan dari figur sentral Sri Sultan Hamengkubowono IX. Sebagai Raja Jawa, Sri Sultan HB IX mempunyai pengaruh dan otoritas signifikan dalam menentukan langkah politik Yogyakarta kala itu. Pun, keputusan terbaik HB IX bahwa DIY bergabung dalam NKRI.
Sikap politik HB IX itu menunjukkan bahwa ia negarawan sejati. Meski berasal dari daerah, HB IX sangat nasionalis, cinta Tanah Air, dan bangsanya, serta kepemimpinannya visioner. Buktinya, ia lebih memilih meleburkan Yogyakarta ke dalam bagian Negara Republik Indonesia dengan status keistimewaan yang tetap melekat pada Yogya. Tentu, hal itu menjadi tonggak sejarah penting bagi perjalanan NKRI menuju persatuan wilayah.
 Pondasi sejarah bangsa yang patut dikenang di republik ini. Karena itu buku ini ditulis oleh dua orang yang ahli di bidangnya. Buku ini mengulas visi kepemimpinan HB IX dalam relasinya Yogyakarta sebagai Kota Republik. Dari buku ini, menunjukkan bahwa betapa Raja Jawa dan masyarakat Yogyakarta begitu komitmen terhadap keutuhan NKRI. Pengorbanan apapun dilakukan demi Indonesia. Salah satunya ditunjukkan HB IX bersama rakyat Yogyakarta ketika Belanda berhasil menduduki Ibu Kota Jakarta pada 29 September 1945.
Pendudukan kaum kolonial terhadap Jakarta, tak memadamkan perlawanan rakyat Indonesia. Dari Bumi Mataram perlawanan terhadap kolonialisasi, penindasan, dan hegemoni Belanda dibakar. Dengan sangat cerdik, Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam mengirim utusan ke Jakarta dengan tujuan supaya Ibu Kota negara dipindahkan ke Yogyakarta pada 2 Januari 1946.
Walhasil, setelah melewati negosiasi dan diplomasi akhirnya keinginan HB IX diterima Presiden Soekarno, hingga pada 4 Januari 1946, secara resmi Ibu Kota NKRI pindah ke Yogyakarta. Meski berlangsung singkat, dari 4/1/1946 sampai 28 Desember 1949, namun pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta menjadi album menyejarah bangsa Indonesia atas konsistensi dan komitmen (Raja Jawa) Yogyakarta membela negara tercinta.
Tapi kini, ibarat kacang lupa kulitnya, petinggi negeri ini yang sedang menggenggam kuasa, seolah melupakan warisan sejarah penting HB IX dan masyarakat Yogyakarta itu. Bumi Mataram diobok-obok dengan isu keistimewaan. Hingga kini, masalah keistimewaan masih menggantung antara Yogyakarta dengan pusat.
Kondisi itu, sungguh sangat miris. Apalagi jika kita mengingat sumbangsih Yogyakarta di masa lampau. Artinya, bukan maksud mengungkit jasa, tapi peran penting HB IX bersama masyarakat Yogyakarta dalam membela NKRI seyogyanya tak mudah dilupaabaikan elit pusat yang terkesan  arogan dan ahistoris dengan sejarah bangsanya sendiri.
Dengan bahasa lain, kita sejatinya tak mudah melupakan sejarah—sebagaimana acap ditegaskan Bung Karno, jangan sekali-kali lupakan sejarah (Jasmerah). Sejarah adalah kaca benggala, tempat bangsa ini bercermin, melihat masa lalu untuk menatap masa depan lebih gemilang. Termasuk tentang sejarah kepemimpinan Sri Sultan HB IX yang monumental bersama rakyat Yogyakarta dalam meneguhkan Kota Republik dapat menjadi teladan bagi generasi sekarang dan juga (pemimpin) bangsa ini.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar