Judul
buku : Wasiat HB IX: Yogyakarta Kota
Republik
Penulis : Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : 1, Februari 2012
Tebal : 244 halaman
Penulis : Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta
Cetakan : 1, Februari 2012
Tebal : 244 halaman
Peneguhan
sikap politik Yogyakarta menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) tak dapat dilepaskan dari figur sentral Sri Sultan Hamengkubowono IX.
Sebagai Raja Jawa, Sri Sultan HB IX mempunyai pengaruh dan otoritas signifikan
dalam menentukan langkah politik Yogyakarta kala itu. Pun, keputusan terbaik HB
IX bahwa DIY bergabung dalam NKRI.
Sikap
politik HB IX itu menunjukkan bahwa ia negarawan sejati. Meski berasal dari
daerah, HB IX sangat nasionalis, cinta Tanah Air, dan bangsanya, serta kepemimpinannya
visioner. Buktinya, ia lebih memilih meleburkan Yogyakarta ke dalam bagian
Negara Republik Indonesia dengan status keistimewaan yang tetap melekat pada
Yogya. Tentu, hal itu menjadi tonggak sejarah penting bagi perjalanan NKRI
menuju persatuan wilayah.
Pondasi sejarah bangsa yang patut dikenang di
republik ini. Karena itu buku ini ditulis oleh dua orang yang ahli di
bidangnya. Buku ini mengulas visi kepemimpinan HB IX dalam relasinya Yogyakarta
sebagai Kota Republik. Dari buku ini, menunjukkan bahwa betapa Raja Jawa dan
masyarakat Yogyakarta begitu komitmen terhadap keutuhan NKRI. Pengorbanan
apapun dilakukan demi Indonesia. Salah satunya ditunjukkan HB IX bersama rakyat
Yogyakarta ketika Belanda berhasil menduduki Ibu Kota Jakarta pada 29 September
1945.
Pendudukan
kaum kolonial terhadap Jakarta, tak memadamkan perlawanan rakyat Indonesia.
Dari Bumi Mataram perlawanan terhadap kolonialisasi, penindasan, dan hegemoni
Belanda dibakar. Dengan sangat cerdik, Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam
mengirim utusan ke Jakarta dengan tujuan supaya Ibu Kota negara dipindahkan ke
Yogyakarta pada 2 Januari 1946.
Walhasil,
setelah melewati negosiasi dan diplomasi akhirnya keinginan HB IX diterima Presiden
Soekarno, hingga pada 4 Januari 1946, secara resmi Ibu Kota NKRI pindah ke
Yogyakarta. Meski berlangsung singkat, dari 4/1/1946 sampai 28 Desember 1949,
namun pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta menjadi album menyejarah bangsa
Indonesia atas konsistensi dan komitmen (Raja Jawa) Yogyakarta membela negara
tercinta.
Tapi
kini, ibarat kacang lupa kulitnya, petinggi negeri ini yang sedang menggenggam
kuasa, seolah melupakan warisan sejarah penting HB IX dan masyarakat Yogyakarta
itu. Bumi Mataram diobok-obok dengan isu keistimewaan. Hingga kini, masalah
keistimewaan masih menggantung antara Yogyakarta dengan pusat.
Kondisi
itu, sungguh sangat miris. Apalagi jika kita mengingat sumbangsih Yogyakarta di
masa lampau. Artinya, bukan maksud mengungkit jasa, tapi peran penting HB IX
bersama masyarakat Yogyakarta dalam membela NKRI seyogyanya tak mudah
dilupaabaikan elit pusat yang terkesan
arogan dan ahistoris dengan sejarah bangsanya sendiri.
Dengan
bahasa lain, kita sejatinya tak mudah melupakan sejarah—sebagaimana acap
ditegaskan Bung Karno, jangan sekali-kali lupakan sejarah (Jasmerah). Sejarah
adalah kaca benggala, tempat bangsa ini bercermin, melihat masa lalu untuk
menatap masa depan lebih gemilang. Termasuk tentang sejarah kepemimpinan Sri
Sultan HB IX yang monumental bersama rakyat Yogyakarta dalam meneguhkan Kota
Republik dapat menjadi teladan bagi generasi sekarang dan juga (pemimpin)
bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar