Sabtu, 15 Desember 2012

MENGGUGAT PELARANGAN BUKU


Judul Buku      : Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi
Penulis             : Iwan Awaluddin Yusuf, Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Puji Rianto, Saifudin Zuhri.
Penerbit          : PR2Media
Edisi                : 2010
Tebal               : 190 halaman

Kasus pelarangan buku adalah cerita klise yang terus berulang di negeri ini. Penarikan buku dari ruang publik, intimidasi pihak tertentu terhadap penulis maupun penerbit buku—adalah deretan teror yang hingga kini masih saja terjadi di era demokrasi. Buku-buku yang dianggap berseberangan dengan kepentingan elit, diklaim telah “menyesatkan sejarah”. Alhasil, tafsir pemerintah itu menjadi dalih untuk melegalkan pemberangusan dan pembumihangusan buku.

Pemusnahan buku adalah perilaku tak beradab dan terkesan biadab. Buku sebagai hasil produk kebudayaan umat manusia dihancurkan hanya karena isi dan atau penulisnya berbeda pendapat dengan kepentingan elit. Padahal, buku adalah jendela dunia. Artinya, dari buku pula manusia dapat menatap dunia yang lebih bermartabat.
Nasib malang yang menimpa dunia perbukuan itu telah menggugah kesadaran khalayak bahwa pelarangan buku merupakan tindakan keliru jika tak ingin dikatakan salah besar. Asumsi ini yang menjadi dasar lahirnya buku berjudul “Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi” karya anak negeri.
Dengan kalimat lain, buku ini sebetulnya dapat dikatakan sebagai bentuk gugatan terhadap rezim yang acap menjadikan buku sebagai “biang kerok” atas pertarungan (politik) berbagai kepentingan penguasa. Sederhananya, buku masih saja dianggap sebagai akar masalah dan dengan itu mesti disingkirkan.
Secara de fakto, pengebirian terhadap buku telah berlangsung sejak lama di bangsa kita. Sejarah mencatat, tiap rezim yang berkuasa di negeri ini, sebut saja, pada zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi, puluhan dan bahkan ratusan buku beserta penulisnya disingkirkan dan bahkan ada yang dibakar.
Dan, yang paling menyedihkan pelarangan terhadap buku justru terjadi di zaman reformasi dengan slogan demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebebasan. Di saat jargon kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkarya dijamin negara, sebuah dramaturgi terhadap buku justru terjadi.
  Di Indonesia pada masa reformasi tercatat ada banyak buku yang dilarang pemerintah untuk dikonsumsi masyarakat luas. Atas dasar bertentangan dengan UU No. 4/PNPS/1963, UUD 1945, dan Pancasila, buku-buku seperti: Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman.
Kemudian, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad—semua buku itu dilarang diedarkan ke masyarakat oleh pemerintah. (hlm xv).
Di titik ini, pelarangan buku menjadi preseden buruk bagi perkembangan peradaban manusia, utamanya bagi kemajuan bangsa Indonesia. Pelarangan buku yang masih saja melanda di era demokrasi mendedah pertanyaan kritis-reflektif. Mengapa bangsa ini masih saja bertindak primitif terhadap buku? Bukankah lebih elegan jika buku dilawan dengan buku? Toh, cara itu beradab sekaligus menepis anggapan kita adalah bangsa biadab yang kerap memberangus buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar