Judul Buku : Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan
Kebebasan Berekspresi
Penulis :
Iwan Awaluddin Yusuf, Wisnu Martha Adiputra, Masduki, Puji Rianto, Saifudin
Zuhri.
Penerbit :
PR2Media
Edisi :
2010
Tebal :
190 halaman
Kasus
pelarangan buku adalah cerita klise yang terus berulang di negeri ini.
Penarikan buku dari ruang publik, intimidasi pihak tertentu terhadap penulis
maupun penerbit buku—adalah deretan teror yang hingga kini masih saja terjadi
di era demokrasi. Buku-buku yang dianggap berseberangan dengan kepentingan
elit, diklaim telah “menyesatkan sejarah”. Alhasil, tafsir pemerintah itu
menjadi dalih untuk melegalkan pemberangusan dan pembumihangusan buku.
Pemusnahan
buku adalah perilaku tak beradab dan terkesan biadab. Buku sebagai hasil produk
kebudayaan umat manusia dihancurkan hanya karena isi dan atau penulisnya berbeda
pendapat dengan kepentingan elit. Padahal, buku adalah jendela dunia. Artinya,
dari buku pula manusia dapat menatap dunia yang lebih bermartabat.
Nasib
malang yang menimpa dunia perbukuan itu telah menggugah kesadaran khalayak
bahwa pelarangan buku merupakan tindakan keliru jika tak ingin dikatakan salah
besar. Asumsi ini yang menjadi dasar lahirnya buku berjudul “Pelarangan Buku di
Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi” karya anak
negeri.
Dengan
kalimat lain, buku ini sebetulnya dapat dikatakan sebagai bentuk gugatan
terhadap rezim yang acap menjadikan buku sebagai “biang kerok” atas pertarungan
(politik) berbagai kepentingan penguasa. Sederhananya, buku masih saja dianggap
sebagai akar masalah dan dengan itu mesti disingkirkan.
Secara
de fakto, pengebirian terhadap buku telah berlangsung sejak lama di bangsa
kita. Sejarah mencatat, tiap rezim yang berkuasa di negeri ini, sebut saja,
pada zaman Orde Lama, Orde Baru, hingga reformasi, puluhan dan bahkan ratusan
buku beserta penulisnya disingkirkan dan bahkan ada yang dibakar.
Dan,
yang paling menyedihkan pelarangan terhadap buku justru terjadi di zaman
reformasi dengan slogan demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip
kebebasan. Di saat jargon kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkarya
dijamin negara, sebuah dramaturgi terhadap buku justru terjadi.
Di
Indonesia pada masa reformasi tercatat ada banyak buku yang dilarang pemerintah
untuk dikonsumsi masyarakat luas. Atas dasar bertentangan dengan UU No.
4/PNPS/1963, UUD 1945, dan Pancasila, buku-buku seperti: Dalih Pembunuhan
Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, Suara Gereja
bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan
di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman.
Kemudian,
Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965
karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan
karya Darmawan, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad—semua
buku itu dilarang diedarkan ke masyarakat oleh pemerintah. (hlm xv).
Di
titik ini, pelarangan buku menjadi preseden buruk bagi perkembangan peradaban
manusia, utamanya bagi kemajuan bangsa Indonesia. Pelarangan buku yang masih
saja melanda di era demokrasi mendedah pertanyaan kritis-reflektif. Mengapa
bangsa ini masih saja bertindak primitif terhadap buku? Bukankah lebih elegan
jika buku dilawan dengan buku? Toh, cara
itu beradab sekaligus menepis anggapan kita adalah bangsa biadab yang kerap memberangus
buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar