Judul Buku : Uesugi Kenshin
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Kansha Books
Tahun Terbit : 2012
Tebal : 388 halaman
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Kansha Books
Tahun Terbit : 2012
Tebal : 388 halaman
Penyerbuan
Takeda Shingen dan pasukannya terhadap Kastel Warigadake milik Uesugi Kenshin
dari klan Echigo membuka lembaran kisah lama pertarungan dua daimyo dan klan
terbesar pada zaman Sengoku Jidai. Penaklukan kawasan yang berujung tragedi
berdarah itu kembali mempertemukan dua kelompok samurai ke dalam dunia kelam:
perang.
Perang
samurai, perlawanan kekuatan militer, pertarungan diplomasi, adu kecerdikan dan
taktik, serta pertarungan strategi politik digunakan untuk melumpuhkan lawan.
Dunia samurai mengenal Shingen (42) dan Negeri Koshu sebagai daimyo serta
kelompok arogan, haus darah, dan kekuasaan. Mereka penghianat kelompok samurai.
Tapi, Harimau Buas di Kozan, julukan Shingen, dikenal pandai taktik diplomatik
dan ahli politik. (hlm 9).
Kelicikan,
kepicikan, dan kepandaian Shingen, menjadikan diri dan identitas kelompoknya
sebagai samurai yang disegani dan ditakuti di jagat persamuraian. Kekuasaan,
kekuatan ekonomi, wilayah, serta pasukan militer Shingen tak dapat tertandingi
klan lain secara kuantitas, termasuk Uesugi beserta anak buahnya.
Tsun
Zue, berkata, lebih baik mendapat musuh cerdas dari pada memiliki teman bodoh.
Logika, insting, pengalaman, kekuatan pasukan dipadukan dalam kepemimpinan klan
untuk menaklukkan Shingen. Kenshin berhadapan musuh tangguh “si Kaki Panjang”,
julukan lain Shingen. Penyerangan Kastel Warigadake dari Shingen mempertemukan
Kenshin pada perang tak biasa.
Perang
fisik dan terselubung dijalankan demi melumpuhkan musuh yang dalam hitungan
politik jauh lebih kuat. Shingen menguasai banyak negeri kecil, selain daerah
pegunungan yang menjadi basis kekuatan pasukannya. Ladang ekonomi dan kekuatan
militer berada di tangannya. Shingen adalah daimyo yang bermunafik, namun cerdik
berpolitik. Penghianatan atas perjanjian damai di Kastel Warigadake dengan
Kenshin, adalah bukti otentik kelicikan Shingen. Perjanjian damai empat tahun
lalu pada tahun pertama era Eiroku (1558 M) antara pihak Echigo dan Kai seolah
tak berarti karena penghianatan. Istilah lain perjanjian kosong menjadi abu (hlm
28).
Kekuasaannya
mendorong Shingen melakukan banyak tipu muslihat. Dia mengelabuhi kawan, lawan,
dan melemahkan otoritas Istana di Kyoto. Tujuannya merebut kekuasaan. Cerita
novel ini tak hanya menggiring imajinasi pembaca pada pertarungan klan khas
Jepang, tapi juga kisah daimyo dengan moral cerita yang mengagumkan. Ini dikemas
dalam narasi, teks, dan simbol yang sarat makna.
Kenshin
adalah simbol tokoh, pemimpin tangguh suatu klan (besar) Jepang. Ia pantang menyerah
dalam mewujudkan impian untuk meninggalkan jejak langkah besar. Dia berani dan
tabah. Pada usia 33, dia sudah pandai berpolitik dan berdiplomasi. Tak heran
kalau dia menjadi pemimpin besar suatu klan.
Dari
situ, taktik perang cerdik diperagakan Kenshin menghadapi musuh. Semangat
samurai ia tanamkan pada diri dan pasukannya. Harga diri harus dipertahankan
dari para musuh dan penghianat (baca: Shingen) harus ditebus dengan pengorbanan
besar, nyawa sekalipun, perang terhadap diri sendiri dengan menghilangkan rasa
takut.
Dikisahkan,
suatu ketika, tanpa sepengetahuan banyak pasukan, Kenshin mengutus salah satu
kepercayaannya, Saito Shimotsuke, untuk menghadap Shingen. Tentu Shingen heran,
mengapa orang seperti Saito dengan perawakan fisik tak sempurna ditunjuk
sebagai delegasi Kenshin berdiplomasi dengan Shingen.
“Tuan
Shimotsuke, apa boleh aku tanya mengapa penguasa Echigo mengutus lelaki
bertubuh kecil seperti Anda? Tanpa tersinggung, Shimotsuke menjawab, “Di negeri
kami, Echigo, biasanya lelaki yang bertubuh besar dikirim ke negeri besar. Lelaki
bertubuh kecil dikirim ke negeri kecil. Jadi, lelaki kerdil seperti akulah yang
diutus ke negeri Anda.” (hlm 54).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar