DEKONSTRUKSI SEJARAH TRAGEDI G30S

Judul Buku      : Bunga Tabur Terakhir
Penulis            : GM. Sudarta
Penerbit          : Galangpress
Tahun Terbit   : 2011
Tebal               : 156 halaman

Ingatan pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) terlampau memilukan, tragis, dan bahkan bengis. Syahawat kekuasaan membutakan segalanya. Politisasi fakta, memutarbalikkan sejarah, fitnah adalah kekejaman mewarnai kisah sejarah pilu G30S. Tak sampai disitu, kudeta merangkak/pengambilalihan kekuasaan, harus ditebus dengan darah dan air mata. Sejarah mencatat, sedikitnya 500.000 orang terlibat PKI atau mereka dituduh berideologi, simpatisan “partai terlarang” itu dibantai tanpa rasa kemanusiaan.

Dahsyatnya tragedi itu telah membekas dalam hati maupun pikiran mereka yang terlibat atau dicitrakan PKI. Pasalnya, meski telah lama berlalu tapi trauma dari peristiwa tersebut masih terasa hingga kini. Mereka yang distigmatisasi PKI dengan cara paksa harus menanggung derita berkepanjangan hingga turun-temurun bahkan sampai saat ini.

Akibat rekayasa sejarah baik dalam bentuk pendidikan sejarah, film, buku, dan lainnya—politisasi sejarah PKI yang dalangnya konon dilakukan Soeharto dan kroninya, membuat mereka (baca: hal-hal berbau PKI) terasing di negeri sendiri. Mereka diperlakukan tak adil, hilangannya identitas individu-sosial-kultural, hak-hak sebagai warga negara diabaikan—ironinya pengebirian itu hingga di era demokrasi ini belum pula lepas dari jeratan manipulasi sejarah rezim masa lalu.

Buku ini hadir untuk menggugat sejarah yang dipelintir itu. Artinya, PKI atau mereka yang dekat dengan ideologi, simbol, atribut “partai terlarang” tersebut bukan dalang/aktor utama penculikan dan pembunuhan enam jenderal, sebagaimana pelajaran sejarah 1965 yang selama ini diterima mainstream. Dengan bahasa lain, peristiwa kelam dalam sejarah modern bangsa Indonesia itu dipenuhi bias politik.

Kritik terhadap rekayasa sejarah PKI itu dilukiskan secara mendalam di buku GM. Sudarta. Kebiadaban sejarah masa lampu dihadirkan sang karikaturis itu dengan sangat apik, detail, apa adanya dalam buku ini. Tak ayal, membaca buku ini imajinasi pembaca seakan dibawa pada masa lalu yang begitu mengerikan, seolah merasakan langsung derita korban G30S.

Penulis buku menyajikan kisah-kisah pilu itu ke dalam 10 cerpen yang ia racik. Berangkat dari pengalaman pribadi, investigasi terhadap korban politisasi sejarah PKI, buku ini terasa begitu hidup lewat penggambaran tokoh, cerita, setting kisah, maupun alur cerpen. Kekerasan terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI dilukiskan dalam kisah Sum, gadis kampung yang menjadi korban fitnah sejarah oleh sang Lurah biadab.

Demikian pula dalam cerpen bertajuk Yomodipati yang berarti Dewa Pencabut Nyawa. Melalui cerpen ini, kekejaman masa lalu itu dihadirkan. Mulai dari politisasi citra, mereka dituduh PKI padahal mereka tak bersentuhan dengan ideologi komunis, penangkapan/penculikan sampai kekerasan yang berujung pada kematian korban sejarah PKI—dikisahkan dengan penghayatan mendalam.

Begitulah sejarah G30S yang diliputi manipulasi, rekayasa dan juga politisasi. Sejarah kelabu bangsa meminjam istilah filsuf Jacques Prancis Derrida yang harus didekonstruksi. Pemutarbalikkan sejarah PKI mesti diluruskan dengan objektifitas sejarah. Tujuannya, agar kita bijak memandang sejarah kelam itu. Semoga!