Sabtu, 15 Desember 2012

MELACAK AKAR RADIKALISME


Judul Buku      : Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia
Penulis             : Bilveer Singh dan Abdul Munir Mulkhan
Penerbit          : Jogja Bangkit Publisher
Edisi                : 2012
Tebal               : 159 halaman

Paham dan aksi radikalisme tumbuhberkembang menjadi ideologi serta identitas mengancam multikulturalisme dan heterogenitas masyarakat negeri ini. Kelompok radikalisme menebar teror, menumbuhkan ideologi kebencian pada keyakinan serta golongan lain berbeda haluan teologi, ideologi, dan bahkan gerakan politik.

Di Indonesia, gelombang radikalisme belakangan ini kembali marak. Serangan pemikiran hingga aksi bunuh diri menjadi bahasa dan ekspresi menunjukkan eksistensi mereka. Paham keagamaan tak bersumber pada tekstual kitab suci dianggap sesat dan kafir kelompok fundamental.
Dalam pelbagai kesempatan diskusi kultural, akademik, maupun di ruang publik, persinggungan tegang mewarnai debat bersama kelompok radikalisme. Argumentasi dipertahankan demi kebenaran agama diyakini dan ditafsirkan sendiri. Dialog pemikiran dan kritik dimentahkan.
Bahkan ketika pemikiran buntu dan jalan dialog dinafikan, bom bunuh diri menjadi ‘sang pengantin’ mereka tebar. Ahmad Yosepa Hayat menjadi pengantin di depan Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton Solo, Minggu, 25 September 2011. Demikian pula Mohammad Syarif di Masjid Adz Dzikro Kompleks Mapolresta Cirebon pada 27 September 2011.
Jejak radikalisme memantik diskursus dan menggelitik pemikir keagamaan. Mengapa paham keagamaan radikal menguat? Apa latar belakang bom bunuh diri dilakukan aliran radikalisme? Buku ini membawa kita pada perdebatan seputar gerakan radikalisme agama (Islam).
Jejak Radikalisme
Maraknya radikalisme di era kontemporer memiliki ikatan sejarah dan sosio-politik. Di sini, geneologi radikalisme dilacak. Secara kultural-histrori, akar maupun embrio munculnya benih radikalisme Islam dimulai ketika golongan yang dulunya pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib, membangkang hingga memutuskan keluar barisan Ali. Kelompok itu dikenal dengan Khawarij.
Doktrin Khawarij begitu keras dan kaku. “Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Tuhan maka ia termasuk golongan yang kafir”. Khawarij menganggap Ali termasuk golongan kafir, karena pemikiran dan sikap keagamaan Ali sudah berbeda dengan Khawarij. Pun Ali wajib dilawan dan dihancurkan.
Model pemikiran dan semangat radikal/revolusioner Khawarij bermetamorfosis sejalan dinamika maupun perubahan zaman. Ideologi radikal berkembang di tanah Arab dengan setting sosial-politik berbeda. Artinya pemikiran dan aksi radikal tak lagi dibatasi dokrin maupun dogma agama ditafsirkan sepihak. Tapi, radikalisme berkembang karena sejarah dan faktor lain di luar agama.
Radikalisme lebih sering muncul saat menghadapi kebijakan politik penguasa dan kondisi sosial-budaya dipandang dapat mengancam penerapan ajaran Islam yang diyakini mutlak benar. Kaum radikal mengusung rasa wajib memperjuangkan keyakinan mereka itu—sampai dengan hari ini. (hlm 101).
  Semangat itu mengilhami aksi radikalisme di belahan dunia, apalagi dibumbuhi sentimen anti Barat. Di Afganistan ada Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) dengan gagasannya Pan Islamisme. Ide Pan Islamisme dimaksudkan menyatukan dunia Islam mirip sistem hilafah—karena didasarkan kenyataan sosiologis eksistensi Islam terpinggirkan oleh dominasi kekuatan Barat pasca kemunduran Islam abad 19.
Spirit itu mewarnai perkembangan gerakan radikal Sultan Turki, Abdul Hamid II, gerakan Wahabi di Hijaz, Jemaat-e Islami didirikan Abu Al’a al-Maududi di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan tokoh Sayyid Quthb. Seperti itu pula gerakan Sayyid Nursi di Turki, Hasal Al-Bana dan gerakan NII pimpinan Kartosuwiryo di Indonesia—hingga berkembang seperti sekarang ini.
Deradikalisasi
Jejaring radikalisme dilatarbelakangi pelbagai faktor kompleks. Doktrin isy karieman atu nut syadiedan (hidup mulia atau mati syahid) atas tafsir teks dan Qur’an literal, bukan satu-satunya alasan radikalisme berkembang. Dendam sejarah kekalahan Islam pada Perang Salib atas Barat, peminggiran Islam secara sosial, budaya, dan politik hingga di era modern turut menjadi penyebab radikalisme.
Buku ini tak hanya menganalisis akar radikalisme secara komprehensip. Tapi, buku ini juga berupaya melakukan deradikalisasi terhadap radikalisme. Penulis buku menawarkan dakwah kebudayaan sebagai antitesis sekaligus sintesis atas maraknya radikalisme Islam. Pendekatan mencakup pelbagai dimensi termasuk membaca sejarah Islam dengan holistik, objektif, dan tak parsial. Bukan sejarah Islam direduksi dan dipolitisasi kemudian dijadikan referensi pembenar aksi radikal.
Sejarah Islam dicontohkan nabi Muhammad Saw. Ajaran Islam nabi Muhammad yang tak menebarkan ideologi kebencian, termasuk pada musuh atau kelompok berbeda dan membenci dirinya. Prinsip Islam rahmatan lil’alamin dan martabat kemanusian—menjadi landasan kuat nabi Muhammad memperkenalkan humanisme Islam.
Buku ini wajib dibaca guna memahami radikalisme dan cara membendung arus gerakan radikalisme. Sayang kajian radikalisme hanya dibatasi dalam Islam saja. Telaah yang tak dapat menghindari adanya bias opini masyarakat Islam identik dengan radikalisme. Padahal, Karen Armstrong mengatakan radikalisme dapat terjadi pada setiap agama, Yahudi atau Kristen. Kebrutalan Anders Behring Breivik, penganut  Kristen konservatif di Oslo, Norwegia dengan teror bom mobil, membabi buta dengan senjata di Pulau Utoya hingga menewaskan 76 orang dan melukai 90 orang—menjadi bukti radikalisme dapat terjadi pada agama apa pun. Buku ini kian menarik bila penulisnya melengkapi wacana dengan menelusuri gerakan radikalisme pada agama lain di luar Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar