Judul Buku : Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia
Penulis :
Bilveer Singh dan Abdul Munir Mulkhan
Penerbit :
Jogja Bangkit Publisher
Edisi :
2012
Tebal :
159 halaman
Paham
dan aksi radikalisme tumbuhberkembang menjadi ideologi serta identitas mengancam
multikulturalisme dan heterogenitas masyarakat negeri ini. Kelompok radikalisme
menebar teror, menumbuhkan ideologi kebencian pada keyakinan serta golongan
lain berbeda haluan teologi, ideologi, dan bahkan gerakan politik.
Di
Indonesia, gelombang radikalisme belakangan ini kembali marak. Serangan
pemikiran hingga aksi bunuh diri menjadi bahasa dan ekspresi menunjukkan
eksistensi mereka. Paham keagamaan tak bersumber pada tekstual kitab suci
dianggap sesat dan kafir kelompok fundamental.
Dalam
pelbagai kesempatan diskusi kultural, akademik, maupun di ruang publik, persinggungan
tegang mewarnai debat bersama kelompok radikalisme. Argumentasi dipertahankan
demi kebenaran agama diyakini dan ditafsirkan sendiri. Dialog pemikiran dan
kritik dimentahkan.
Bahkan
ketika pemikiran buntu dan jalan dialog dinafikan, bom bunuh diri menjadi ‘sang
pengantin’ mereka tebar. Ahmad Yosepa Hayat menjadi pengantin di depan Gereja
Bethel Injil Sepenuh Kepunton Solo, Minggu, 25 September 2011. Demikian pula
Mohammad Syarif di Masjid Adz Dzikro Kompleks Mapolresta Cirebon pada 27
September 2011.
Jejak
radikalisme memantik diskursus dan menggelitik pemikir keagamaan. Mengapa paham
keagamaan radikal menguat? Apa latar belakang bom bunuh diri dilakukan aliran radikalisme?
Buku ini membawa kita pada perdebatan seputar gerakan radikalisme agama (Islam).
Jejak Radikalisme
Maraknya
radikalisme di era kontemporer memiliki ikatan sejarah dan sosio-politik. Di
sini, geneologi radikalisme dilacak. Secara kultural-histrori, akar maupun
embrio munculnya benih radikalisme Islam dimulai ketika golongan yang dulunya
pengikut khalifah Ali bin Abi Thalib, membangkang hingga memutuskan keluar
barisan Ali. Kelompok itu dikenal dengan Khawarij.
Doktrin
Khawarij begitu keras dan kaku. “Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Tuhan maka
ia termasuk golongan yang kafir”. Khawarij menganggap Ali termasuk golongan
kafir, karena pemikiran dan sikap keagamaan Ali sudah berbeda dengan Khawarij. Pun
Ali wajib dilawan dan dihancurkan.
Model
pemikiran dan semangat radikal/revolusioner Khawarij bermetamorfosis sejalan
dinamika maupun perubahan zaman. Ideologi radikal berkembang di tanah Arab
dengan setting sosial-politik berbeda. Artinya pemikiran dan aksi radikal tak
lagi dibatasi dokrin maupun dogma agama ditafsirkan sepihak. Tapi, radikalisme
berkembang karena sejarah dan faktor lain di luar agama.
Radikalisme
lebih sering muncul saat menghadapi kebijakan politik penguasa dan kondisi
sosial-budaya dipandang dapat mengancam penerapan ajaran Islam yang diyakini
mutlak benar. Kaum radikal mengusung rasa wajib memperjuangkan keyakinan mereka
itu—sampai dengan hari ini. (hlm 101).
Semangat
itu mengilhami aksi radikalisme di belahan dunia, apalagi dibumbuhi sentimen
anti Barat. Di Afganistan ada Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) dengan
gagasannya Pan Islamisme. Ide Pan Islamisme dimaksudkan menyatukan dunia Islam
mirip sistem hilafah—karena didasarkan kenyataan sosiologis eksistensi Islam
terpinggirkan oleh dominasi kekuatan Barat pasca kemunduran Islam abad 19.
Spirit
itu mewarnai perkembangan gerakan radikal Sultan Turki, Abdul Hamid II, gerakan
Wahabi di Hijaz, Jemaat-e Islami didirikan Abu Al’a al-Maududi di Pakistan,
Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan tokoh Sayyid Quthb. Seperti itu pula gerakan
Sayyid Nursi di Turki, Hasal Al-Bana dan gerakan NII pimpinan Kartosuwiryo di
Indonesia—hingga berkembang seperti sekarang ini.
Deradikalisasi
Jejaring
radikalisme dilatarbelakangi pelbagai faktor kompleks. Doktrin isy karieman atu nut syadiedan (hidup
mulia atau mati syahid) atas tafsir teks dan Qur’an literal, bukan satu-satunya
alasan radikalisme berkembang. Dendam sejarah kekalahan Islam pada Perang Salib
atas Barat, peminggiran Islam secara sosial, budaya, dan politik hingga di era
modern turut menjadi penyebab radikalisme.
Buku
ini tak hanya menganalisis akar radikalisme secara komprehensip. Tapi, buku ini
juga berupaya melakukan deradikalisasi terhadap radikalisme. Penulis buku
menawarkan dakwah kebudayaan sebagai antitesis sekaligus sintesis atas maraknya
radikalisme Islam. Pendekatan mencakup pelbagai dimensi termasuk membaca
sejarah Islam dengan holistik, objektif, dan tak parsial. Bukan sejarah Islam
direduksi dan dipolitisasi kemudian dijadikan referensi pembenar aksi radikal.
Sejarah
Islam dicontohkan nabi Muhammad Saw. Ajaran Islam nabi Muhammad yang tak
menebarkan ideologi kebencian, termasuk pada musuh atau kelompok berbeda dan
membenci dirinya. Prinsip Islam rahmatan
lil’alamin dan martabat kemanusian—menjadi landasan kuat nabi Muhammad
memperkenalkan humanisme Islam.
Buku
ini wajib dibaca guna memahami radikalisme dan cara membendung arus gerakan
radikalisme. Sayang kajian radikalisme hanya dibatasi dalam Islam saja. Telaah
yang tak dapat menghindari adanya bias opini masyarakat Islam identik dengan
radikalisme. Padahal, Karen Armstrong mengatakan radikalisme dapat terjadi pada
setiap agama, Yahudi atau Kristen. Kebrutalan Anders Behring Breivik, penganut Kristen konservatif di Oslo, Norwegia dengan
teror bom mobil, membabi buta dengan senjata di Pulau Utoya hingga menewaskan
76 orang dan melukai 90 orang—menjadi bukti radikalisme dapat terjadi pada
agama apa pun. Buku ini kian menarik bila penulisnya melengkapi wacana dengan
menelusuri gerakan radikalisme pada agama lain di luar Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar