Sabtu, 15 Desember 2012

MEMBEDAH SISI LAIN KORUPSI


Judul Buku      : Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi
Penulis              : Reza A.A Wattimena
Penerbit          : Kanisius
Tahun Terbit   : 2012
Tebal               : 208 halaman

Korupsi dan perilaku korup tidak saja karena sistem pemerintahan buruk. Banalitas (kewajaran) korupsi turut dipengaruhi libido, hasrat manusia. Kuasa manusia didorong kenikmatan semu menjerumuskan ia dalam kubangan penghianatan kepercayaan dan penyalahgunaan kekuasaan. Korupsi dianggap wajar.
Masyarakat menilai korupsi adalah budaya atau bahkan tradisi lumrah. Siapa saja dapat terjebak perilaku nista itu. Pejabat dengan kedudukan sosial memiliki kesempatan besar melakukan penyimpangan kuasa. Ia dustai janji politik yang pernah diberikan pada orang lain. Para elit menari-nari di atas pusaran kekuasaan yang menikmatkan. Hasrat dan kepentingan pribadi terpenuhi meski ditebus dengan pengingkaran dan kemunafikan.
Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkuasa (the will to power). Manusia ingin menguasai orang lain. Ia juga bermaksud menggenggam semesta. Dorongan berkuasa membutakan segalanya.
Buku ini meneropong, sisi kelam pada diri manusia hingga ia menjerumuskan tubuh dalam dunia nista: korupsi. Reza memandang, korupsi atau tindakan korup berawal pada kehendak pribadi seseorang. Manusia tak bisa mengendalikan dorongan kuasa untuk mendapat sesuatu. Pada diri seseorang dipenuhi perburuan hasrat dan kuasa. Bahasa lain, sisi hewani manusia menjadi dominan dalam ritus korupsi.
Apa pun cara ditempuh demi memenuhi kebutuhan hewani yang menguasai manusia. Segala cara halal dilakukan. Pengingkaran atas kepercayaan diberikan menjadi biasa. Kekuasaan diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penindasan dan hegemoni kekuasaan legal, meski orang lain merasakan derita. Nurani kemanusian diabaikan. Etika sosial, nilai-nilai moral, norma hukum ditabrak dalam batas-batas tak wajar. Begitulah wajah kusam korupsi.
Dalam konteks itu, benar kata Aristoteles, korupsi identik dengan dua hal, yakni kematian dan dekadensi moral yang disamakan olehnya dengan hedonisme, yakni hidup yang tujuan utamanya adalah mencari nikmat badaniah semata. Orang yang melakukan korupsi akan mengalami sensasi luar biasa akibat kehendak pribadi terpenuhi.
Kenikmatan dunia ia rasakan dari harta jarahan. Kalimat lain, seseorang merasakan kebahagiaan di atas kesakitan orang lain. Kebutuhan tubuh tercukupi, rasa nikmat diraih. Korupsi membutakan nurani, menodai logika dan akal sehat, mengotori tubuh dengan dosa bertajuk memburu nikmat.
Di dalam buku ini, Reza menjabarkan beberapa hal yang menjadi sisi gelap manusia hingga ia melakukan korup(si). Yakni: hasrat berkuasa yang bercokol di dalam dirinya, nafsu untuk meraup kenikmatan, sisi hewani yang tak tertata, kemalasan dan ketidakberpikiran manusia, dan kekosongan jiwa manusia. Dari lima sisi gelap itu, kita bisa melihat bagaimana kejahatan menorehkan jejaknya dalam sejarah manusia, dan akhirnya berubah menjadi kejahatan sistemik yang mengakar begitu dalam dan begitu luas dalam masyarakat. (hlm 199-200).
Korupsi telah menggurita dalam kehidupan masyarakat, tak terkecuali di negeri kita. Indonesia menjadi bangsa terkorup di dunia. Segala sendi kehidupan ada benalu korupsi di dalamnya. Birokrasi pemerintahan dari pusat hingga daerah marak tikus-tikus berdasi meraup keuntungan uang haram. Mereka tak takut dosa, apalagi hanya melanggar hukum, itu biasa dilakukan. Aktor-aktor koruptor tak khawatir kehilangan wibawa, kehormatan, kepercayaan publik, bahkan nyawa. Mereka telah dikuasai hasrat hewani yang membelenggu nurani dan akal. Koruptor lebih takut tak punya uang, mereka gelisah jika tak mampu membeli kenikmatan semu yang tersaji.   
Republik ini rusak akibat ulah koruptor dan kebiasaan korup masyarakat. Suap menyuap, ketidakjujuran, kekuasaan disalahgunakan menjadi pemandangan lumrah kita temukan. Media mengekspos kabar perilaku korup aparat pemerintah, elit parpol, pejabat negara—dari yang pribadi hingga korupsi berjamaah. Uang rakyat dirampok dalam jumlah besar. Pedih dan perih rasa menerima kenyataan korupsi “dilegalkan” di institusi negara.
Hasrat hewani begitu kuat mendedah, utamanya pejabat pemerintah yang duduk di kursi empuk kekuasaan. Mereka memiliki kesempatan besar meraih kebahagian dengan kuasa yang digenggam. Mereka dapat melakukan apa saja di atas kenikmatan kekuasaan. Menumpuk kekayaan dari jalan pintas. Mentalitas menerabas meminjam istilah Koentodiningrat yang berujung pada perbuatan korup mendedah penguasa.
Sisi kelam manusia yang mendorong timbulnya korupsi. Karya ini dengan cerdas membidik hal lain fenomena korupsi maupun budaya korup masyarakat. Kasus korupsi tak saja menyangkut sistem birokrasi bobrok yang membuka peluang terjadinya praktik korupsi aparat, bukan pula karena produk hukum lemah menindak koruptor, tapi faktor kedirian seseorang mempengaruhi ia bertindak culas (baca: korup).
Manusia ditempatkan sebagai subjek aktif pelaku korupsi. Buku yang mengajak kita mengenali latar belakang seseorang atau kelompok melakukan tindakan korup. Mengetahui dorongan hewani yang menguasi manusia lalu melampaui kehendak yang tak wajar itu adalah tujuan penting penulisan buku ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar