Judul Buku : Perempuan Berbicara Kretek
Penulis : Abmi Handayani, dkk
Penerbit : Indonesia Berdikari
Tahun Terbit : Januari, 2012
Tebal : 320 halaman
Penulis : Abmi Handayani, dkk
Penerbit : Indonesia Berdikari
Tahun Terbit : Januari, 2012
Tebal : 320 halaman
Kretek,
tak hanya enak dihisap dan kepulan asapnya memberi kenikmatan, menggugah
imajinasi, dan inspirasi penikmatnya. Bagi perempuan, makna kretek tak
sederhana sebagaimana dipahami orang. Kretek bukan saja benda terbuat dari
tembakau dan cengkeh yang mengeluarkan asap. Namun, dari kretek histori
perempuan dapat dilacak. Tentang perempuan berjasa yang berani mempertahankan
harga diri, membela kehormatan, dan kewibawaan wanita dari praktik diskiminasi,
dominasi, dan bahkan hegemoni budaya patriarkhal dan kultur masyarakat feodal,
superioritas laki-laki, kuasa pemodal, serta kekejaman kolonial terhadap kaum
hawa.
Itu
artinya, kretek punya kisah penting dengan perempuan dalam lembaran sejarah kebudayaan
bangsa Indonesia. Sejarah yang dibentuk karena realitas sosiologis. Kontak
sejarah sehingga memunculkan idiom, simbol, identitas, dan atau karakter
perempuan berbeda. Pengalaman masa lalu, yang mengikat solidaritas, emosional,
ideologis, sosiologis, sosio-politik, ekonomi, dan juga religiusitas, antara
perempuan dan kretek.
Dalam
babad Tanah Jawi, Romo Mangunwijaya, menuliskan kisah seorang perempuan yang
gemar mengkretek tapi ia wanita pemberani, pintar, bahkan kemudian ia menjadi
simbol perlawanan perempuan atas tirani yang mengungkung dan menjebak peran
sosial perempuan. Kisahnya terjadi pada abad 17.
Literatur
Jawa klasik mengisahkan tentang sosok perempuan bernama Rara Mendut. Berasal
dari klan biasa, Mendut tak minder, apalagi psimis. Bahkan, orang mengenal dia
sebagai perempuan yang sangat berani. Suatu ketika, panglima tua namanya
Tumenggung Wiraguna mempunyai maksud terselubung dengan Mendut. Merasa punya
kekuasaan, Wiraguna bebas mewujudkan segala mimpi dan keinginannya, termasuk
berniat menikahi Mendut.
Tapi,
Mendut bukan perempuan yang mudah takluk dengan bujuk rayu dan gombalan cinta
pria, meskipun laki-laki itu berasal dari golongan sosial yang terhormat serta
punya tahta. Singkat kata, Mendut menolak ajakan Wiraguna untuk menikahinya,
meski ia sadar resiko berat yang akan dihadapinya.
Pun
tolakkan Mendut itu berbuah petaka bagi dirinya. Oleh Wiraguna, Mendut diminta
untuk membayar pajak dengan beban tinggi. Dengan kepiawaian dan keberaniannya,
Mendut menjawab seruan Wiraguna. Ia kemudian, berjualan kretek di pasar
tradisional sambil menari-nari. Kerja keras Mendut berbuah hasil, dengan
berjualan kretek ia bisa membayar beban pajak kepada Wiraguna.
Kisah
Mendut dalam buku ini, menjadi salah satu cerita inspiratif untuk mengangkat
dan memperjuangkan emansipasi serta menepis bias gender yang masih terjadi pada
perempuan—hingga di abad modern ini. Stigmatisasi, politisasi citra, bahkan
mitos yang mendeskreditkan perempuan dalam relasinya dengan kretek dan konteks
sosial kerap muncul dalam konstruksi budaya di republik ini.
Ketika perempuan mengkretek maka hukum dan opini
publik menjustifikasi wanita itu dengan moralitas yang rusak. Pun saat
perempuan memakai jilbab merokok, ia dipandang tak religius. Konstruksi budaya,
menempatkan perempuan dan kretek pada dikotomi tajam bahkan paradoks. Padahal,
itu hanya realitas semu. Karena historisitas kretek menjadi simbol pembebasan dan
perlawanan perempuan dari pelbagai tirani yang menindas.
Dimana bisa diperoleh? Harga berapa?
BalasHapus