Sabtu, 15 Desember 2012

PENANDA KEKUASAAN KAUM HAWA


Judul Buku      : Perempuan Berbicara Kretek
Penulis            : Abmi Handayani, dkk
Penerbit          : Indonesia Berdikari
Tahun Terbit   : Januari, 2012
Tebal               : 320 halaman

Konstruksi budaya di Indonesia masih menyisahkan bias politik diskriminasi terhadap perempuan pengkretek. Dalam realitas sosial, perempuan mengkretek dijustifikasi pada definisi-definisi/idiom/makna dan simbol artifisial yang semu bahkan absurd. Ia dipandang tak bermoral, wanita yang kerap melanggar dan menabrak normal sosial, etika publik, sehingga identitas sebagai perempuan nakal seolah menjadi pantas disematkan dalam diri perempuan yang gemar mengkretek.

Politik identitas diskriminatif itu berkembang menjadi wacana, pengetahuan umum, opini khalayak bahwa perempuan pengkretek jelek dalam kebudayaan masyarakat kita. Walhasil, ketika berada dalam ruang publik, perempuan membawa tembakau, cengkeh, dan kertas kemudian melintingnya, maka lingkungan sekitar akan memberikan pembenar bahwa ia perempuan jalang. Pun, ketika perempuan berkerudung/berjilbab tapi ia pengkretek, masyarakat akan memberikan pemaknaan, ia bukan wanita religius.
Apa hubungan kretek dengan kepribadian perempuan yang dinilai jelek? Pertanyaan lain, adakah kaitan kretek dengan tingkat kesadaran beragama perempuan baik pada level vertikal (dengan Tuhannya) maupun ibadah sosial?. Pertanyaan janggal ini belum pula dijawab, tapi masyarakat sudah dapat memberikan penilaian dengan pelbagai stigmatisasi buruk terhadap perempuan pengkretek. Bias politik konstruksi budaya yang tak dapat dilepaskan dari pelbagai kepentingan (asing).
Politik Budaya dan Konspirasi Global
 Dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia, berapa persenkah dari mereka pernah berpikir atau paling tidak mempertanyakan kebenaran konstruksi budaya yang menstereotipe negatif perempuan dengan kretek. Jumlahnya dapat dipastikan minoritas. Itu karena, pikiran kita telah terracuni dan meminjam istilah Gramchi terhegemoni lewat by desain budaya yang cenderung mendeskreditkan perempuan dan kretek dalam realitas sosial.
Buku ini ditulis membendung arus wacana dan gelombang politik diskriminasi perempuan pengkretek melalui konspirasi jahat dijalankan aktor global berkongkalikong dengan elit yang punya kuasa di negeri ini. Kekuasaan global yang hegemonik, diskriminatif, bahkan naïf istilah Nietzsche—terhadap kelompok sosial lain. Arogansi kekuasaan yang menurut Foucault mendapat lawan tanding.
Stigmatisasi perempuan pengkretek hanyalah konstruksi realitas dari kekuasaan asing karena Amerika dan Eropa tak memiliki pertanian tembakau dan cengkeh bahan dasar kretek. Realitas bikinan/semu di dalamnya terselubung pelbagai kepentingan menonjol: politik dan bisnis. Konstruksi politik budaya yang mengucilkan perempuan pengkretek menjadi bagian dari persekongkolan jahat perusahaan asing yang ingin mematikan, bahkan berupaya membunuh industri kretek yang sejak tahun 1914 berdiri di Kudus dengan pelbagai cara licik, picik, dan biadab.
Artinya, dalam konteks lebih subtil, pelabelan buruk pada perempuan pengkretek menjadi salah satu cara menghancurkan perusahaan dagang kretek. Langkah itu, sebagai pelengkap dari metode lain mematikan kretek Indonesia selain dengan cara politisasi isu kesehatan yang konon karena kretek dapat menyebabkan kematian, merusak kandungan dan janin perempuan serta anak.
Di samping itu, modus lain digunakan asing ingin membumihanguskan kretek dari pentas perdagangan internasional, yakni membajak institusi keagamaan dengan mengeluarkan mantra haram pada rokok, melalui regulasi/perda pemerintah anti rokok, kawasan bebas rokok, lewat iklan yang manipulatif, dan termasuk menstigmatisasi perempuan pengkretek.
Dekonstruksi Realitas Semu
Konstruksi realitas yang condong merugikan perempuan dan kretek selayaknya didekonstruksi. Opini masyarakat harus diluruskan dalam memandang perempuan pengkretek agar lebih objektif. Apalagi, jika kita membuka lembaran sejarah kebudayaan masyarakat Indonesia yang tak dapat memisahkan perempuan dan kretek.
Bahkan, pada konteks tertentu, kretek menjadi sarana mempertahankan identitas, kehormatan, harga diri wanita. Kretek pun menjadi simbol pembebasan perempuan di masa lalu dari pelbagai dominasi dan tirani budaya patriarkhal yang feodal, serta kekuasaan yang arogan. Kisah sejarah itu terpatri dalam Babad Tanah Jawi dalam cerita Rara Mendut si pengkretek yang berani melawan kuasa panglima tua bernama Tumenggung Wiraguna pada abad 17.
Romo Mangunwijaya dalam novel trilogi, menuliskan, perempuan Jawa ini menggunakan tembakau sebagai alat perlawanan terhadap tatanan sosial yang patriarkhal. Mendut dipaksa menikahi Wiraguna, tapi ia menolak. Sebagai ganjarannya, panglima marah itu menaikkan pajak pada Mendut. Demi membayar pajak tinggi, Mendut berjualan rokok sambil menari di pasar tradisional. Dan ia pun membayar pajak pada Wiraguna dari penghasilannya. (hlm 100).  
Handchard (2004) mengatakan, merokok menjadi penanda kekuasaan dari wanita akan dirinya. Wanita yang tidak memiliki kekuatan fisik untuk melawan, justru menggunakan kepiawaian merokok. Melalui rokok wanita mampu menguasai lawan jenisnya. Melalui rokok, wanita menjalankan weapons of the weak, yaitu ketika berada di bawah tekanan, kelompok dominan dengan kedudukan superordinat di dalam pemerintahan, kehidupan sosial, serta ekonomi dan kemiliteran ditaklukan oleh serbuan kelompok subordinat di dalam sistem politik yang justru mendorong jatuhnya hegemonik kepatuhan mutlak kepada kaum dominan, serta jatuhnya kekuasaan kelompok dominan.

1 komentar:

  1. Dari semua orang yang pernah kutemui. Memang Mas Andre adalah yang paih berhak berbicara kaum hawa. Pertanyaan "mengapa?" akan otomatis terjawab saat anda bertatap dengan matanya yang tajam. Waspadalah... Waspadalah...

    BalasHapus