Judul Buku : Perempuan Berbicara Kretek
Penulis : Abmi Handayani, dkk
Penerbit : Indonesia Berdikari
Tahun Terbit : Januari, 2012
Tebal : 320 halaman
Penulis : Abmi Handayani, dkk
Penerbit : Indonesia Berdikari
Tahun Terbit : Januari, 2012
Tebal : 320 halaman
Konstruksi
budaya di Indonesia masih menyisahkan bias politik diskriminasi terhadap
perempuan pengkretek. Dalam realitas sosial, perempuan mengkretek dijustifikasi
pada definisi-definisi/idiom/makna dan simbol artifisial yang semu bahkan absurd.
Ia dipandang tak bermoral, wanita yang kerap melanggar dan menabrak normal
sosial, etika publik, sehingga identitas sebagai perempuan nakal seolah menjadi
pantas disematkan dalam diri perempuan yang gemar mengkretek.
Politik
identitas diskriminatif itu berkembang menjadi wacana, pengetahuan umum, opini
khalayak bahwa perempuan pengkretek jelek dalam kebudayaan masyarakat kita. Walhasil,
ketika berada dalam ruang publik, perempuan membawa tembakau, cengkeh, dan
kertas kemudian melintingnya, maka lingkungan sekitar akan memberikan pembenar
bahwa ia perempuan jalang. Pun, ketika perempuan berkerudung/berjilbab tapi ia
pengkretek, masyarakat akan memberikan pemaknaan, ia bukan wanita religius.
Apa
hubungan kretek dengan kepribadian perempuan yang dinilai jelek? Pertanyaan
lain, adakah kaitan kretek dengan tingkat kesadaran beragama perempuan baik pada
level vertikal (dengan Tuhannya) maupun ibadah sosial?. Pertanyaan janggal ini
belum pula dijawab, tapi masyarakat sudah dapat memberikan penilaian dengan
pelbagai stigmatisasi buruk terhadap perempuan pengkretek. Bias politik
konstruksi budaya yang tak dapat dilepaskan dari pelbagai kepentingan (asing).
Politik Budaya dan Konspirasi Global
Dari 240 juta jiwa penduduk Indonesia, berapa
persenkah dari mereka pernah berpikir atau paling tidak mempertanyakan
kebenaran konstruksi budaya yang menstereotipe negatif perempuan dengan kretek.
Jumlahnya dapat dipastikan minoritas. Itu karena, pikiran kita telah terracuni
dan meminjam istilah Gramchi terhegemoni lewat by desain budaya yang cenderung mendeskreditkan perempuan dan
kretek dalam realitas sosial.
Buku
ini ditulis membendung arus wacana dan gelombang politik diskriminasi perempuan
pengkretek melalui konspirasi jahat dijalankan aktor global berkongkalikong
dengan elit yang punya kuasa di negeri ini. Kekuasaan global yang hegemonik, diskriminatif,
bahkan naïf istilah Nietzsche—terhadap kelompok sosial lain. Arogansi kekuasaan
yang menurut Foucault mendapat lawan tanding.
Stigmatisasi
perempuan pengkretek hanyalah konstruksi realitas dari kekuasaan asing karena
Amerika dan Eropa tak memiliki pertanian tembakau dan cengkeh bahan dasar
kretek. Realitas bikinan/semu di dalamnya terselubung pelbagai kepentingan
menonjol: politik dan bisnis. Konstruksi politik budaya yang mengucilkan
perempuan pengkretek menjadi bagian dari persekongkolan jahat perusahaan asing
yang ingin mematikan, bahkan berupaya membunuh industri kretek yang sejak tahun
1914
berdiri di Kudus dengan
pelbagai cara licik, picik, dan biadab.
Artinya,
dalam konteks lebih subtil, pelabelan buruk pada perempuan pengkretek menjadi
salah satu cara menghancurkan perusahaan dagang kretek. Langkah itu, sebagai pelengkap
dari metode lain mematikan kretek Indonesia selain dengan cara politisasi isu
kesehatan yang konon karena kretek dapat menyebabkan kematian, merusak
kandungan dan janin perempuan serta anak.
Di
samping itu, modus lain digunakan asing ingin membumihanguskan kretek dari
pentas perdagangan internasional, yakni membajak institusi keagamaan dengan
mengeluarkan mantra haram pada rokok, melalui regulasi/perda pemerintah anti
rokok, kawasan bebas rokok, lewat iklan yang manipulatif, dan termasuk
menstigmatisasi perempuan pengkretek.
Dekonstruksi Realitas Semu
Konstruksi
realitas yang condong merugikan perempuan dan kretek selayaknya didekonstruksi.
Opini masyarakat harus diluruskan dalam memandang perempuan pengkretek agar
lebih objektif. Apalagi, jika kita membuka lembaran sejarah kebudayaan
masyarakat Indonesia yang tak dapat memisahkan perempuan dan kretek.
Bahkan,
pada konteks tertentu, kretek menjadi sarana mempertahankan identitas,
kehormatan, harga diri wanita. Kretek pun menjadi simbol pembebasan perempuan
di masa lalu dari pelbagai dominasi dan tirani budaya patriarkhal yang feodal,
serta kekuasaan yang arogan. Kisah sejarah itu terpatri dalam Babad Tanah Jawi
dalam cerita Rara Mendut si pengkretek yang berani melawan kuasa panglima tua
bernama Tumenggung Wiraguna pada abad 17.
Romo
Mangunwijaya dalam novel trilogi, menuliskan, perempuan Jawa ini menggunakan
tembakau sebagai alat perlawanan terhadap tatanan sosial yang patriarkhal.
Mendut dipaksa menikahi Wiraguna, tapi ia menolak. Sebagai ganjarannya,
panglima marah itu menaikkan pajak pada Mendut. Demi membayar pajak tinggi,
Mendut berjualan rokok sambil menari di pasar tradisional. Dan ia pun membayar
pajak pada Wiraguna dari penghasilannya. (hlm 100).
Handchard (2004) mengatakan, merokok menjadi
penanda kekuasaan dari wanita akan dirinya. Wanita yang tidak memiliki kekuatan
fisik untuk melawan, justru menggunakan kepiawaian merokok. Melalui rokok
wanita mampu menguasai lawan jenisnya. Melalui rokok, wanita menjalankan weapons of the weak, yaitu ketika berada
di bawah tekanan, kelompok dominan dengan kedudukan superordinat di dalam
pemerintahan, kehidupan sosial, serta ekonomi dan kemiliteran ditaklukan oleh
serbuan kelompok subordinat di dalam sistem politik yang justru mendorong
jatuhnya hegemonik kepatuhan mutlak kepada kaum dominan, serta jatuhnya
kekuasaan kelompok dominan.
Dari semua orang yang pernah kutemui. Memang Mas Andre adalah yang paih berhak berbicara kaum hawa. Pertanyaan "mengapa?" akan otomatis terjawab saat anda bertatap dengan matanya yang tajam. Waspadalah... Waspadalah...
BalasHapus