Resensi dimuat di Harian Detik Pagi, 15 Desember 2012
Judul Buku : Taira No Masakado
Penulis : Eiji Yoshikawa
Penerbit : Kansha Books
Tahun Terbit : Oktober, 2012
Tebal : 635 halaman
![]() |
Abad ke sembilan
Jepang Timur gempar dengan kehadiran seorang samurai. Namanya Taira No
Masakado. Ia anak penguasa Shimosa yang meninggalkan negeri itu karena takdir
sejarah. Pada usia empat belas tahun, Kojiro (nama kecil Masakado) berpisah
dengan sang ayah—garis nasib yang membawa mereka pada keadaan itu. Yoshimochi,
ayah Masakado, meninggalkan anak sulungnya akibat kematian. Jejak ayah terpatri
kuat pada diri Masakado, kematian yang meninggalkan titah: wilayah dan
kehormatan wajib dijaga dan dipertahankan dengan cara apa pun. Jalan
pemberontakkan demi menjaga kesetiaan pada pesan ayah adalah penggalan kisah
hidup Masakado ketika ia beranjak dewasa.
Tiga belas tahun
meninggalkan tanah kelahiran saat Masakado tumbuh dewasa (16 tahun), ia kembali
ke dataran Bando dengan membawa pesan masa silam. Amanah orang tua mesti ia
wujudkan. Jelang kematian, ayah Masakado berwasiat pada tiga saudaranya berasal
dari Hitachi, Shimosa, dan Kazusa. Warisan sejarah yang mengendap kuat dalam
pikiran dan jiwa Masakado.
Tapi, di negeri
Bando sejarah menuliskan takdir yang berbeda. Tiga paman Masakado berkhianat
terhadap pesan Yoshimochi. Bukannya menjaga warisan saudaranya, Kunika, Yoshikane
dan Yoshimasa (tiga paman Masakado), malah merebut kekuasaan, warisan,
kehormatan keluarga Masakado dengan cara “kudeta” tanpa darah. Paman Masakado
yang serakah, arogan, dan haus takhta menenggelamkan kehidupan Masakado dalam
kubangan hitam.
Mereka semua
tahu kenyataan yang keji sedang menimpa hidup Masakado dan garis keturunannya.
Tanah dan harta benda milik keluarga Masakado dijarah dan dibagi-bagikan oleh
para pamannya, serta anak-anak mereka, selama Masakado berada di Ibukota. Masakado
pulang kampung dalam keadaan tidak tahu apa-apa soal itu. Setelah hidup di
Ibukota selama tiga belas tahun, dia pulang dengan keyakinan bahwa tanah
peninggalan ayahnya masih menjadi miliknya. Tapi yang tinggal hanyalah wisma
tua yang nyaris kosong di Toyoda dan adik-adik yang tanpa daya, seolah-olah
sudah dikebiri. (hlm 209).
Masakado merasa
ditusuk dari belakang oleh tiga paman dan keturunannya. Peninggalan ayah
tercinta yang dititipkan berupa tanah, peternakan kuda, para budak, dan aset
lain serta adik-adik Masakado—semua dirampas melalui penghianatan. Amarah
Masakado membuncah. Ia melakukan gerakan, menghimpun kekuatan untuk
mengembalikan kehormatan.
Perang
dan Kematian
Kudeta dilawan
dengan pemberontakkan dan perang. Masakado membentuk barikade atas dasar klan
dan kesetiaan. Darah biologis-ideologis ia satukan membentuk pasukan. Adik-adik
dan keturunan Yoshimochi yang dipinggirkan oleh politik diskriminasi tiga
paman—dipersatukan Masakado. Mereka yang masih loyal dengan ideologi Yoshimochi
dihimpun Masakado dengan kekuatan seorang samurai. Singkat kisah, kekuatan
Masakado menguat hingga mampu membendung kuasa pemerintahan pusat Kyoto yang
dikendalikan tiga paman Masakado.
Kehadiran
Masakado dan pengikutnya menjadi ancaman kekuasaan kekaisaran. Perlawanan balik
pun terjadi. Perang bergulir dalam banyak rupa dan strategi. Kebangkitan
Masakado diiringi dengan isu-isu kudeta, pemberontakkan, dan bahkan munculnya
kaisar baru. Perang wacana maupun citra menjadi jalan cerita perjuangan
Masakado. Selain itu, perang fisik berkecamuh. Pada 939-940 M perang dramatis
antara pasukan Masakado dan kekaisaran pecah. Banjir darah mewarnai tragedi yang
diiringi dengan bencana: gerhana bulan, gempa bumi. Kisah perang dramatis yang
menjadi akhir jalan perjuangan Masakado. Perang 14 Februari 940 M menutup usia
Masakado di angka 38 tahun. Kepala Masakado dipenggal dan diarak ke Kyoto.
Simbolisme kematian dalam tradisi perang samurai.
Kemuliaan
Samurai
Sejarah samurai
di Negeri Matahari Terbit mengagungkan Masakado. Namanya begitu harum, dikenang
dan dipuja. Ia merupakan samurai pertama yang setia, lucu, lugu, cinta pada
perdamaian, tapi ia dipaksa oleh keadaan yang mengharuskannya menjadi oposisi
dengan pusat pemerintahan Kyoto pada zamannya.
Kematiannya
dikenang bahkan dimuliakan. Sejarah Jepang mencatat, Masakado sebagai samurai
yang patut diteladani dan dikenang sepanjang masa. Kisah hidupnya pun akan
terus diabadikan melalui artefak sejarah yang berdiri di jantung kota Tokyo. Di
kota itu, didirikan kuil suci Masakado yang begitu menyejarah. Kuil yang tak
hanya menyimpan peninggalan, ajaran-ajaran, moral cerita Masakado, tapi juga
cerita mistis di baliknya.
Eiji Yoshikawa, novelis sejarah
Jepang, mengangkat cerita seorang samurai yang melegenda. Moral kisah sejarah Jepang
yang tak hanya mengangkat kejadian masa silam dari seorang tokoh Masakado,
namun tradisi, kebudayaan, ajaran-ajaran luhur Jepang yang khas diselipkan
dalam kisah novel menarik ini.
Taira
No Masakado
melengkapi novel-novel Eiji Musashi
dan Taiko. Eiji piawai merangkai
sejarah Jepang dalam kemasan fiksi (sejarah) yang membawa pembaca merasakan
emosi, peristiwa, alur cerita, konflik, keterkejutan, dan adegan-adegan yang
dialami Negeri Sakura di masa lalu. Sensasi fiksi itu ditemukan pula dalam
cerita Masakado selain di dalamnya ada darah, air mata, dan cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar