Judul Buku : Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam
Ekonomi Indonesia
Penulis : Syamsul Hadi, Salamuddin Daeng, Afrimadona, Shanti Darmastuti, Eka Pratiwi, Indah Nataprawira
Penerbit : Indonesia Berdikari
Tahun Terbit : September, 2012
Tebal : 247 halaman
Penulis : Syamsul Hadi, Salamuddin Daeng, Afrimadona, Shanti Darmastuti, Eka Pratiwi, Indah Nataprawira
Penerbit : Indonesia Berdikari
Tahun Terbit : September, 2012
Tebal : 247 halaman
Kepentingan
politik asing belum juga hengkang dari negeri ini. Bahkan cara-cara cerdik dan
picik dijalankan demi ambisi serta arogansi menguasai Indonesia. Segala
tindakan dihalalkan dengan tujuan menghegemoni dan bahkan mengeruk kekayaan
alam tanah air. Penjajahan tak lagi dilakukan secara fisik, melainkan menguasai
kekuatan politik parlemen.
Instrumen
negara (baca: parlemen) kini di bawah kendali asing, diakui atau tidak. Para
elit politik yang duduk di kursi empuk kekuasaan lebih memilih menghamba pada
kepentingan asing. Klaim penguasa parlemen sebagai wakil rakyat menjadi slogan
belaka. Eksistensi parlemen tak lebih tukang stempel rezim asing.
Berada
dalam ketiak kepentingan asing, cara berpikir dan perilaku elit parlemen
mengarah pada kehendak apa yang diinginkan orang luar. Tidak heran bila
berbagai produk kebijakan dan aturan perundang-undangan yang dihasilkan dari gedung
wakil rakyat, apalagi yang menyangkut masalah ekonomi nasional berpihak pada
kuasa asing.
Pelanggengan
kekuasaan asing melalui jalur konstitusi di parlemen tampak vulgar ketika kekuasaan
Soeharto rontok pada 1998. Ketika rezim Orde Baru diruntuhkan akibat hantaman
krisis ekonomi yang disertai tekanan-tekanan politik dari dalam dan luar
negeri, gegap gempita jargon perubahan seakan mewarnai langit Indonesia yang
mendadak dilanda demam reformasi. Tidak pernah dibayangkan oleh kebanyakan orang
bahwa euforia reformasi justru menjadi “jembatan emas” bagi penetrasi dan
perluasan kepentingan asing dalam ekonomi Indonesia.
Sumber
daya ekonomi Indonesia ingin dikuasai asing melalu jalur elegan. Yakni
mengendalikan konstitusi dan memasang orang-orang yang pro kepentingan asing di
dalam parlemen. Walhasil, melalui rahim parlemen banyak peraturan Undang-Undang
yang dihasilkan memiliki spirit kuat menghamba pada asing. Amandemen terhadap
Undang-Undang Dasar dan munculnya berbagai undang-undang serta peraturan
pemerintah yang diwarnai semangat liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi
dalam banyak hal telah memberikan jalan seluas-luasnya bagi kekuatan-kekuatan
asing untuk lebih mendominasi ekonomi Indonesia. (hlm. 1).
Fenomena
yang menunjukkan bentuk neo kolonialisme yang pernah didengungkan founding fathers bangsa. Bung Hatta
pernah mengingatkan kita bahwa Indonesia kelak akan memasuki zaman di mana
penjajahan dilakukan secara halus, pasca penjajahan fisik. UUD diamandemen
untuk memenuhi kuasa asing.
Kekuatan
parlemen menjadi garda depan pelegalan kepentingan asing. Produk UU dibuat
dominan untuk memuluskan asing menguasai aset ekonomi republik. Seorang anggota
Dewan bahkan membeberkan bahwa setidaknya ada 170 undang-undang sejak era
reformasi yang dianggap antikonstitusi. Dengan kata lain sekitar 80 persen
undang-undang yang ada pro asing.
Dengan
cara begitu, mereka tidak perlu melakukan penjajahan secara kasar atau brutal
seperti di masa kolonial, karena memang tersedia ruang yang luas untuk
melegalkan (baca: melembagakan) pengerukan untung melalui undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan sebagainya, yang mereka sponsori
dengan label-label semacam “reformasi birokrasi”, “perlakuan yang fair kepada seluruh pelaku usaha”, dan
“iklim investasi yang terbuka”.
Dalam
bahasa hiperbolik, langkah-langkah perencanaan, penentuan, dan pendiktean
kebijakan oleh aneka kekuatan asing itu bisa disebut sebagai sebuah “kudeta
putih” atau “kudeta konstitusional”. Yakni sebuah pengambilalihan hak dan
wewenang mengeksploitasi bumi Indonesia dan seluruh penghuninya melalui
cara-cara yang “sah secara hukum”, yaitu melalui pendiktean substansi kebijakan
lewat aturan-aturan berkekuatan hukum yang dibuat oleh pemerintah atau pun
parlemen.
“Kudeta
Putih” secara legal formal tidak menyalahi aturan dan perundang-undangan. Akan
tetapi, secara substansial keabsahannya mesti digugat dan terus dipertanyakan,
mengingat misi kemerdekaan bangsa ini bukanlah melempangkan “jalan kembali”
atau memfasilitasi kekuatan-kekuatan asing untuk kembali menjajah negeri ini
secara “konstitusional” dan “elegan”. Seperti sering diungkapkan oleh para
pendiri bangsa, kemerdekaan mestinya menjadi “jembatan emas” bagi pengingkatan
kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini sebagai tuan rumah yang berdaulat di
negerinya sendiri. (hlm 5).
Buku
ini berikhtiar menggugat kejahatan secara sistematis-terorganisir dikenal
dengan “Kudeta Putih”. Ada banyak produk UU dibuat parlemen terutama pasca
reformasi yang justru pesanan pihak asing. Mereka menggadaikan idealisme,
kehormatan, martabat, bahkan harga diri bangsa demi uang, jabatan politik,
kekuasaan, dan kenikmatan-kenikmatan duniawi.
Perang
terhadap parlemen dan elit penguasa politik yang pro asing mesti ditabu.
Genderang perlawanan atas dominasi asing yang berselingkuh dan berkongkalikong
dengan penguasa lokal kini kian menguat. Buku yang menelusuri fakta-fakta
otentik kebusukan politisi parlemen yang menjadi pelayan rezim asing.
Tapi
ibarat pepatah tak ada gading yang tak retak. Meski karya ini memiliki spirit
heroik mengembalikan kedaulatan ekonomi Indonesia yang dirampas asing. Namun,
semangat itu tak muncul dalam cover buku yang tampak biasa. Lepas itu semua,
buku setebal 247 halaman ini tepat wajib
kita dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar